Rabu, 24 Agustus 2011










“Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar.” 










Dimanakah Kebahagiaan ?


Suatu hari seorang ayah dan anaknya sedang duduk berbincang-bincang di tepi sungai. Kata ayah kepada anaknya, "Lihatlah anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air kita semua akan mati."
Pada saat yang bersamaan, seekor ikan kecil mendengar percakapan itu dari bawah permukaan air, ia mendadak menjadi gelisah dan ingin tahu apakah air itu, yang katanya begitu penting dalam kehidupan ini. Ikan kecil itu berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil bertanya kepada setiap ikan yang ditemuinya, "Hai, tahukah kamu di mana air itu? Aku telah mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati."
Ternyata semua ikan tidak mengetahui di mana air itu. Si ikan kecil makin gelisah, ia terus berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang sudah berpengalaman. 

Kepada ikan sepuh itu ikan kecil ini menanyakan hal serupa, "Di manakah air?" Jawab ikan sepuh, "Tak usah gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu, sehingga kamu bahkan tidak menyadari kehadirannya..."
Manusia kadang-kadang mengalami situasi seperti si ikan kecil, mencari kebahagiaan kesana kemari, padahal ia sedang menjalaninya, bahkan kebahagiaan mungkin sedang melingkupinya sampai-sampai ia tidak menyadarinya. Saat kita menghitung hal-hal buruk, kita hanya akan melihat hal-hal yang buruk di sekeliling kita. Tapi ketika kita menghitung berkat, kita akan melihat berkat-berkatNya itu nyata dan ada di sekeliling kita. 

Masihkah Anda mencari kebahagiaan?





Jangan Hanya Berharap.. Putuskanlah!


Ketika menunggu di bandara Portland, Oregon untuk menjemput seorang teman, saya mengalami sebuah pengalaman yang mengubah kehidupan dengan mendengar pembicaraan orang lain – sesuatu yang menyelinap tanpa disengaja. Hal ini terjadi hanya dua meter dari saya.

Saat mencari teman saya di antara kerumunan penumpang yang baru turun dari pesawat, saya melihat seorang pria berjalan ke arah saya dengan membawa dua tas di tangannya. Dia berhenti tepat di samping saya untuk menyapa keluarganya.

Pertama dia menyapa anak laki-lakinya yang paling muda (mungkin sekitar enam tahun) sambil membungkuk menurunkan tasnya. Dia memeluknya cukup lama, sebuah pelukan penuh kasih. Ketika mereka saling menatap, saya mendengar sang ayah berkata, “Sangat senang bisa melihatmu nak. Aku sangat merindukanmu!” Anaknya tersenyum malu-malu, dan menjawab dengan pelan, “Aku juga ayah!”

Kemudian laki-laki itu berdiri, menatap anak laki-lakinya yang tertua (mungkin berumur sekitar 9 atau 10 tahun) dan sambil memegang wajah anaknya dia berkata, “Kamu sekarang sudah jadi seorang pemuda. 

Aku sangat mencintaimu, Zach!” Mereka berdua berpelukan dengan penuh kasih.

Ketika hal itu terjadi, bayi perempuan yang digendong oleh ibunya menggeliat penuh semangat sambil matanya memandang ayahnya. Pria itu berkata, “Halo gadis kecil!” sambil mengambil anak perempuan itu dari gendongan ibunya. Bayi kecil itu langsung mendekap sang ayah dan menaruh kepalanya di pundaknya, menunjukkan betapa ia merasa sangat nyaman.

Setelah beberapa saat, dia memberikan anak perempuannya pada anak laki-laki tertuanya dan berkata, “Aku menyimpan yang terbaik untuk yang terakhir!” dia kemudian mencium sang istri penuh dengan kemesraan dan kerinduan. Dia menatap mata sang istri beberapa saat dan berkata, “Aku sangat mencintaimu!” Mereka saling menatap dengan senyum kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, sambil tangan mereka saling berpegangan.

Hal ini langsung mengingatkan saya pada pasangan baru menikah, tapi saya tahu dengan umur anak-anak mereka saat itu, sangat tidak mungkin. Sejenak saya bingung tentang hal itu lalu menyadari betapa saya terpesona dengan kasih tanpa syarat yang diungkapkan oleh keluarga yang berada dua kaki jauhnya dari saya. Saya kemudian merasa tidak nyaman, seperti saya sedang memasuki privasi orang lainm tetapi saya sendiri takjub saat dengar suara saya sedang bertanya, “Wow! Berapa lama Anda berdua telah menikah?”

“Telah bersama total selama empat belas tahun, dua belas tahun diantaranya kami jalani dalam pernikahan,” jawab pria itu, tanpa melepaskan tatapannya dari wajah istrinya yang cantik.

“Kalau begitu, sudah berapa lama kamu meninggalkan mereka?” tanya saya. Pria itu akhirnya berbalik dan memandang saya, masih dipenuhi dengan senyuman penuh dengan sukacita.

“Dua hari.”
Dua hari? Saya tertegun. Dengan penyambutan seperti itu, saya duga ia telah pergi selama beberapa minggu atau bulan. Saya tahu ekspresi saya tidak bisa menipunya.

Saya berkata dengan pelan, berharap mengakhiri pembicaraan ini dengan sebuah kasih karunia ( dan melanjutkan untuk mencari teman saya), “Saya berharap pernikahan saya akan masih penuh gairah seperti ini setelah dua belas tahun!”

Pria itu kemudian berhenti tersenyum.

Dia menatap langsung ke mata saya, dan dengan keteladanan yang kuat dia berkata pada jiwa saya, dia mengatakan sesuatu yang mengubah diri saya. Dia berkata, “Jangan hanya berharap, teman.. putuskanlah!” Kemudian sebuah senyum yang indah menghias wajahnya dan sambil menjabat tangan saya dia berkata, “Tuhan memberkati!”

Jika Anda hanya berharap, semua harapan itu tidak akan pernah terwujud. Putuskanlah kehidupan seperti apa yang Anda inginkan, dan wujudkanlah dengan kerja keras setiap hari. Dengan anugrah Tuhan, maka Anda akan menikmati semua harapan itu terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar